Latar Belakang
Beberapa waktu yang lalu kasus
sengketa tanah menjadi headline sebagian besar media massa. Salah satu yang
hangat dibicarakan adalah kasus sengketa tanah Meruya antara warga dengan PT.
Portanigra, kejadian ini meresahkan warga Meruya yang tinggal diatas tanah
tersebut. Mereka menuntut agar kasus sengketa ini segera terselesaikan.
Kasus ini termasuk hukum Perdata
karena, Pengertian Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak
dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat
Kasus
Kasus ini mencuat saat warga
Meruya memprotes keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan PT.
Portanigra atas tanah seluas 44 Ha. Kepemilikan berganda atas tanah tersebut
berawal dari penyelewengan Djuhri, mandor tanah, atas kepercayaan yang
diberikan Benny melalui Toegono dalam pembebasan di Meruya Selatan pada tahun
1972. Djuhri menjual tanah itu kembali kepada pihak lain karena tahu pembelian
tanah itu melanggar aturan. Kemudian, Toegono memperkarakannya ke Pengadilan
Negeri Jakarta Barat dan pada akhirnya Djuhri divonis hukuman percobaan dengan
membayar 175 juta ditambah 8 Ha tanah. Pihak Portanigra belum menganggap
masalah ini selesai dan menggugat Djuhri kembali secara perdata ke Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung memenangkan gugatan PT. Portanigra.
Sengketa tanah antara Djuhri dan
PT.Portanigra ternyata membawa dampak bagi pihak ketiga yaitu warga Meruya.
Mereka terancam kehilangan tanah dan bangunan. Sebagai pihak ketiga, seharusnya
memperoleh pertimbangan hukum. Hal tersebut sesuai dengan pasal 208 (1) pasal
207 HIR dan warga dapat menggugat kembali PT. Portanigra.
Tujuan
Dari kasus diatas, Masyarakat
Meruya menginginkan hak atas tanah yang sengketa agar kembali milik mereka,
pengambilan keputusan oleh Pengadilan agar pihak-pihak yang terlibat mau dan
tunduk atas keputusan hakim persidangan.
Penyelesaian
Masalah sengketa Tanah merupakan
masalah yang pelik dan sangat berat, karena sangkut paut pada aset/harta
Masyarakat. Diperlukan nya kesepakatan satu suara untuk membela hak atas tanah
tersebut. Tindakan yang harus diambil oleh Masyarakat dan Perusahaan PT.
Portanigra ialah duduk bersama di meja hijau mendengarkan keputusan hakim.
Namun yang terjadi ialah Hakim memenangkan PT. Portanigra. Akar dari masalah
ini ialah Oknum bernama Djuhri sudah bermain-mata, sudah sepantasnya pelaku
dijerat dengan hukuman setimpal. Menurut Prof.
Endriatmo Sutarto, ahli hukum Agraria Sekolah Tinggi Pertanahan Yogyakarta Pemerintah sebagai badan
regulasi harus menjadi penengah. Sebagai langkah awal, pemerintah harus
meneliti ulang kebenaran status kepemilikan tanah. Tidak hanya itu, pemerintah
juga harus membenahi sistem administrasi dan lembaga kepemerintahan.
Berdasarkan kasus ada ketidakberesan dalam sistem administrasi di BPN. BPN
mengeluarkan sertifikat atas tanah sengketa. Begitupun MA, kronologis
menunjukkan bahwa putusan MA No. 2683/PDT/G/1999 memiliki keganjilan karena
batas-batas tanah Portanigra di letter C masih belum jelas. Tampak adanya sebuah
“permainan” di sana.
Pemerintah seharusnya membentuk
badan peradilan agraria independen di bawah peradilan umum layaknya pengadilan
pajak, niaga, anak dll. Peradilan itu diisi oleh hakim-hakim Adhoc yang bukan
hanya ahli hukum tanah secara formal tetapi memahami masalah tanah secara
multidimensional. Peradilan tersebut dibentuk berdasarkan UUPA 1960 dan UU
No.4/2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Syarat-syarat administrasi yang diperlukan ialah :
- Kartu Tanda Penduduk Warga Meruya
- Surat Kepemilikan Tanah baik Sertifikat Hak Milik ataupun Akta Jual Beli
- Surat Pajak Bumi dan Bangunan
- Ijin Membangun Bangunan
- Dokumen yang ada sangkut pautnya dengan kepemilikan tanah oleh Notaris
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar