Pages

Sabtu, 02 Mei 2015

Hukum Perdata : Sengketa Tanah di Meruya

Latar Belakang

Beberapa waktu yang lalu kasus sengketa tanah menjadi headline sebagian besar media massa. Salah satu yang hangat dibicarakan adalah kasus sengketa tanah Meruya antara warga dengan PT. Portanigra, kejadian ini meresahkan warga Meruya yang tinggal diatas tanah tersebut. Mereka menuntut agar kasus sengketa ini segera terselesaikan.
Kasus ini termasuk hukum Perdata karena, Pengertian Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat

Kasus

Kasus ini mencuat saat warga Meruya memprotes keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan PT. Portanigra atas tanah seluas 44 Ha. Kepemilikan berganda atas tanah tersebut berawal dari penyelewengan Djuhri, mandor tanah, atas kepercayaan yang diberikan Benny melalui Toegono dalam pembebasan di Meruya Selatan pada tahun 1972. Djuhri menjual tanah itu kembali kepada pihak lain karena tahu pembelian tanah itu melanggar aturan. Kemudian, Toegono memperkarakannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan pada akhirnya Djuhri divonis hukuman percobaan dengan membayar 175 juta ditambah 8 Ha tanah. Pihak Portanigra belum menganggap masalah ini selesai dan menggugat Djuhri kembali secara perdata ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memenangkan gugatan PT. Portanigra.
Sengketa tanah antara Djuhri dan PT.Portanigra ternyata membawa dampak bagi pihak ketiga yaitu warga Meruya. Mereka terancam kehilangan tanah dan bangunan. Sebagai pihak ketiga, seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Hal tersebut sesuai dengan pasal 208 (1) pasal 207 HIR dan warga dapat menggugat kembali PT. Portanigra.

Tujuan

Dari kasus diatas, Masyarakat Meruya menginginkan hak atas tanah yang sengketa agar kembali milik mereka, pengambilan keputusan oleh Pengadilan agar pihak-pihak yang terlibat mau dan tunduk atas keputusan hakim persidangan.

Penyelesaian

Masalah sengketa Tanah merupakan masalah yang pelik dan sangat berat, karena sangkut paut pada aset/harta Masyarakat. Diperlukan nya kesepakatan satu suara untuk membela hak atas tanah tersebut. Tindakan yang harus diambil oleh Masyarakat dan Perusahaan PT. Portanigra ialah duduk bersama di meja hijau mendengarkan keputusan hakim. Namun yang terjadi ialah Hakim memenangkan PT. Portanigra. Akar dari masalah ini ialah Oknum bernama Djuhri sudah bermain-mata, sudah sepantasnya pelaku dijerat dengan hukuman setimpal. Menurut Prof. Endriatmo Sutarto, ahli hukum Agraria Sekolah Tinggi Pertanahan Yogyakarta Pemerintah sebagai badan regulasi harus menjadi penengah. Sebagai langkah awal, pemerintah harus meneliti ulang kebenaran status kepemilikan tanah. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus membenahi sistem administrasi dan lembaga kepemerintahan. Berdasarkan kasus ada ketidakberesan dalam sistem administrasi di BPN. BPN mengeluarkan sertifikat atas tanah sengketa. Begitupun MA, kronologis menunjukkan bahwa putusan MA No. 2683/PDT/G/1999 memiliki keganjilan karena batas-batas tanah Portanigra di letter C masih belum jelas. Tampak adanya sebuah “permainan” di sana.
Pemerintah seharusnya membentuk badan peradilan agraria independen di bawah peradilan umum layaknya pengadilan pajak, niaga, anak dll. Peradilan itu diisi oleh hakim-hakim Adhoc yang bukan hanya ahli hukum tanah secara formal tetapi memahami masalah tanah secara multidimensional. Peradilan tersebut dibentuk berdasarkan UUPA 1960 dan UU No.4/2004 tentang kekuasaan kehakiman.

Syarat-syarat administrasi yang diperlukan ialah :

  •         Kartu Tanda Penduduk Warga Meruya
  •       Surat Kepemilikan Tanah baik Sertifikat Hak Milik ataupun Akta Jual Beli
  •       Surat Pajak Bumi dan Bangunan
  •       Ijin Membangun Bangunan
  •       Dokumen yang ada sangkut pautnya dengan kepemilikan tanah oleh Notaris
     Referensi